Labels

Saturday 3 February 2018

Mengenang Tragedi Letusan Krakatau bersama Orkestra Bandung Phillharmonic (2)

Konser Krakatoa
Setelah duduk manis di kursi yang saya pilih, sebuah kejutan datang dari arah belakang ruangan. Suara koor beberapa alat musik tiup seperti flute, clarinet, dan french horn, menyapa para penonton. Otomatis kami menengok ke belakang, menikmati alunan musik yang berlangsung singkat. Sebuah pembuka pertunjukkan yang cantik.
Kemudian, para pemain musik naik ke atas panggung, dipimpin oleh sang Maestro pengaba, Robert Nordling. Para penonton kembali mendapat kejutan. Kami diminta berdiri. Lalu, orkestra memainkan lagu Indonesia Raya. Suasana langsung berubah khidmat. Tiba-tiba saya merasa haru dan tak kuasa meneteskan air mata penuh kebanggaan. Tanpa dikomando, para penonton bersama-sama ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu.
Orkestra menampilkan lima lagu dari berbagai komponis Indonesia dan dunia. Lagu Krakatoa sendiri, baru dimainkan setelah sesi intermission.
Lagu pertama yang dimainkan adalah Suite Peer Gynt no. 1 Op. 46 karya komponis Edvard Grieg (1843 – 1907). Lagu ini terdiri dari 4 bagian, yaitu Morning Mood, The Death of Ase, Anitra’s Dance, dan In the Hall of the Mountain King. Komposisi ini dibuat untuk melengkapi musik pengiring sebuah pertunjukkan drama dengan judul sama, yang ditulis seorang penulis Norwegia bernama Henrik Ibsen.
Lagu kedua berjudul Malam di Gunung Bald karya komponis Modest Mussorgsky (1839–1881), yang diaransemen lanjut oleh Nikolai Rimsky-Korsakov (1844-1908). Komposisi ini terinspirasi oleh legenda Rusia. Sayangnya, Mussorgsky meninggal dunia tanpa sempat merampungkan karyanya ini. Rimsky-Korsakov lah yang akhirnya menggubah karya Mussorgsky menjadi sebuah nomor musik yang dibuat untuk menimbulkan perasaan takut dan mencekam bagi para pendengarnya.
Lagu ketiga adalah Aki Manggul Awi, sebuah tembang Sunda klasik gubahan Tan De Seng, seorang musisi Sunda beretnis Cina. Lagu ini diaransemen oleh Fauzie Wiriadisastra menjadi sebuah ansambel tiup. Karya ini menceritakan seorang kakek yang bekerja keras menghidupi keluarganya. Di beberapa daerah di Indonesia, pria-pria berumur 70-an tahun, seringkali melewati jalur berbahaya sambil memanggul beban berat di punggung mereka yang ringkih.
Krakatoa karya Stacy Garrop baru ditampilkan setelah sesi intermission. Komposisi ini dibuat dengan menonjolkan permainan solo biola. Michael Hall adalah seorang violis (pemain biola) yang ditunjuk untuk membuat lagu ini terdengar lebih meyayat hati. Para pemusik Bandung Phillharmonic berhasil mengimbangi permainan biola Michael Hall. Sebagai penonton, saya terbawa suasana mencekam, seolah-olah hidup pada zaman di mana gunung Krakatau meletus. Instrumen gesek dan perkusi mengikuti pola ledakan Krakatau yaitu Imminet, Eruption, dan Dormant. Permainan Orkestra Bandung Phillharmonic mampu membuat jantung berdebar keras, untuk kemudian kembali tenang. Seiring dengan penggambaran gunung krakatau yang mulai dorman/tertidur di bawah laut dan bersiap menciptakan gunung baru, Anak Krakatau.
Lagu berikutnya adalah Sungai Moldau karya Bedrich Smetana (1824-1884). Komposisi ini menggambarkan kecintaan Bedrich pada tanah airnya, Cekoslowakia. Karya ini membawa kita menyusuri Sungai Moldau, sungai terpanjang di Ceko. Para penonton seakan-akan ikut merasakan gemerlap air sungai, melihat aktivitas penduduk di desa di tepi sungai, memandang kastil megah dan derap kuda-kuda yang berlarian.
Sebenarnya Sungai Moldau adalah karya terakhir dalam rangkaian lagu wajib yang tercantum dalam buku panduan. Tetapi, seperti pada umumnya sebuah konser musik, biasanya para pemusik menampilkan karya tambahan sebagai bonus.
Kali ini, lagu Bengawan Solo mengalun di Ballroom Hotel Hilton. Tampil menggantikan Robert Nordling, seorang pengaba muda bernama Wishnu Dewanta, memimpin orkestra dengan mulus. Satu kejutan tambahan untuk saya pribadi, ternyata penonton yang duduk di sebelah kanan saya adalah kakak dari pengaba muda itu. Sebuah kebetulan yang menyenangkan!

Pertunjukkan musik klasik berakhir pukul 21.30. para penonton satu per satu keluar ruangan dengan tertib. Semoga suatu saat nanti, saya punya kesempatan untuk kembali menyaksikan orkestra lagi.***

Mengenang Tragedi Letusan Krakatau bersama Orkestra Bandung Phillharmonic (1)

Pada tahun 1883, Gunung Krakatau, sebuah gunung berapi di Selat Sunda, telah menorehkan kenangan mengerikan. Sebuah letusan dahsyat mengguncang pulau-pulau di sekitarnya, sembari memuntahkan lahar, debu, awan panas, dan memicu tsunami. Puluhan ribu orang meninggal pada saat itu. Ledakan-ledakan besar terdengar sangat keras. Begitu keras sehingga terdengar sampai 5000 km jauhnya. Efek yang ditimbulkan sangat parah. Pulau di mana Gunung Krakatau berada, tenggelam. Berhari-hari, langit di wilayah Indonesia menjadi gelap tertutup debu vulkanik.
            Bencana alam mengerikan itu menggugah Stacy Garrop, seorang komponis dari Amerika, menciptakan karya musik yang indah berjudul Krakatoa. Karya itu kemudian dimainkan oleh kelompok orkestra Bandung Phillharmonic di Hotel Hilton, Bandung, pada tanggal 27 Januari 2018. Konser bertajuk “Krakatoa” ini, dihadiri oleh ratusan orang penggemar musik klasik. Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan, juga turut hadir sebagai undangan. Selain Krakatoa, ada empat lagu lainnya yang dimainkan orkestra asal Bandung ini.
            Bagaimana Bandung Phillharmonic menerjemahkan karya Stacy Garrop? Ini dia pengalaman kedua saya menikmati pagelaran musik orkestra. Sebelumnya, saya juga sempat menonton penampilan Bandung Phillharmonic di Gedung Sabilulungan, Soreang, tahun 2017 lalu.

Persiapan Menonton Konser
Dengan memegang tiket reguler seharga Rp. 150.000,00 yang dibeli secara on line, saya merasa cukup beruntung bisa termasuk ke dalam salah satu penonton yang menyaksikan pagelaran musik ini. Menurut jadwal, konser akan dimulai pukul 19.00 sampai 21.00. Biasanya penonton diharapkan hadir satu jam sebelum pertunjukkan untuk melakukan proses registrasi ulang. Setelah proses registrasi selesai, pintu ruangan biasanya akan dibuka setengah jam sebelum acara dimulai. Hal ini dimaksudkan agar para penonton bisa tertib menempati kursi tertentu yang telah disediakan (disesuaikan dengan tipe tiketnya), sehingga acara bisa dimulai tepat waktu.
Pada kenyataannya, pertunjukkan terlambat setengah jam dari jadwal (hal ini juga terjadi di Gedung Sabilulungan). Entah kenapa, para pemegang tiket premium, VIP, dan VVIP, banyak yang tidak disiplin mengikuti aturan main yang sudah baku pada setiap pertunjukkan musik klasik. Sayangnya, panitia juga tak tegas menyikapinyanya. Sangat berbeda ketika saya menonton pertunjukkan musik klasik di IFI (Pusat kebudayaan Prancis) Bandung. Meski hanya merupakan pagelaran musik kecil-kecilan (hanya berupa resital atau ansamble), “Gate” atau pintu ruangan akan langsung ditutup panitia sesuai jadwal. Bagi yang terlambat datang, harus rela menunggu dan baru bisa masuk ke dalam ruangan ketika jeda antar sesi berlangsung, atau ketika lagu pertama usai dimainkan. Aturan ketat seperti itu diberlakukan agar penonton yang sudah lebih dulu datang, tidak terganggu dengan lalu lalang orang terlambat yang sibuk mencari kursi.
Beberapa aturan/etika baku saat menyaksikan pertunjukkan musik klasik : 

1.      Tidak datang terlambat.
2.      Mengenakan pakaian sopan. Beberapa pertunjukkan musik seringkali malah meminta penonton memakai busana formal.
3.      Penonton dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam ruangan. Biasanya panitia akan menggeledah tas kita di pintu masuk.
4.      Mengubah setingan telepon genggam menjadi silent. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan saat pertunjukkan berlangsung.
5.      Menonaktifkan flash ketika akan mengambil gambar/memotret, agar para pemain musik tidak terganggu konsentrasinya.
6.      Dilarang merekam. Hal ini berhubungan dengan perlindungan hak cipta.
7.      Bertepuk tangan hanya setelah satu lagu selesai dimainkan. Contoh : jika sebuah lagu terdiri dari 4 bagian, tepuk tangan dilakukan setelah bagian ke-4 selesai dimainkan.
8.      Jika ingin ke toilet atau sekadar ingin menikmati hidangan kecil/minuman, kita bisa memanfaatkan intermisssion atau jeda antara sesi musik. Intermission ini biasanya berlangsung 5 – 10 menit.
(bersambung)


Sunday 7 May 2017

Memberantas Korupsi itu Sederhana

Ketika korupsi di bumi Indonesia mulai tampak merajalela, masyarakat menyambut baik terbentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) pada 2003 lalu. Sejak itu, harapan terciptanya negara bebas korupsi terus dipupuk.
Sebagai lembaga negara independen, KPK bersinergi dengan pihak kejaksaan dan kepolisian untuk menangani berbagai kasus korupsi.  Seperti dikutip dari situs kpk.go.id, dalam kurun waktu 2004 - 2015, KPK telah berhasil memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/walikota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I,II, dan III.  
Sayangnya, keberadaan KPK belum membuat kasus korupsi menyurut tajam. Kita masih dengan mudah menemukan berita seorang pejabat yang ditangkap karena terjerat kasus korupsi. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), total kasus korupsi di tahun 2014 adalah 629 kasus dengan jumlah tersangka 1328 orang. Sedangkan untuk semester I tahun 2015 saja, telah terdapat 308 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 590 orang. Hal itu menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih memerlukan penangangan yang lebih intens.
Sampai usia 12 tahun, KPK hanya memiliki sekitar 60 penyidik. Seorang penyidik bisa menangani 4 sampai 5 kasus sekaligus. Tentunya hal ini mempengaruhi kinerja pemberantasan korupsi. Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada lembaga independen ini, jika menginginkan kasus korupsi benar-benar lenyap dari Indonesia. Pemberantasan korupsi haruslah menyentuh akar permasalahan yang ada.
Menurut Jack Boulogne, korupsi dapat muncul karena faktor GONE. Diantaranya, Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan tindakan/konsekuensi yang tidak memberi efek jera). Jika diperhatikan, keempat faktor tersebut secara alami dapat dialami oleh semua manusia tanpa kecuali. Hal yang membedakan adalah, apakah manusia tersebut memiliki integritas atau tidak.
Secara mendasar, perilaku korupsi itu sendiri tidak terbatas hanya berupa penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, merugikan keuangan negara, penyuapan, dan pemerasan saja. Lebih luas lagi, korupsi dapat diartikan sebagai kebejatan, ketidakjujuran, perilaku tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978). Korupsi juga dapat diartikan sebagai bentuk perilaku menyimpang dari sembilan nilai integritas yang dicanangkan KPK. Kesembilan nilai tersebut adalah tanggung jawab, kejujuran, keadilan, kemandirian, kesederhanaan, keberanian, kepedulian, kerja keras, dan kedisiplinan. 
Jadi, perilaku korupsi ternyata tidak hanya milik para pejabat dan pemegang kekuasaan saja. Perilaku korupsi adalah perilaku dasar yang dapat menjangkiti seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Beberapa perilaku korupsi malah dekat sekali dengan keseharian kita. Misalnya, menyontek, berbohong, mengganggu teman, berlaku curang, membuang sampah sembarangan, dan merusak fasilitas umum.
            Dengan memahami hal tersebut, proses pemberantasan korupsi akhirnya bukan merupakan monopoli para penegak hukum, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Memberantas korupsi bisa menjadi sebuah hal yang sangat sederhana. Setiap warga negara dapat memberikan kontribusinya kepada KPK. Caranya adalah dengan mengambil peran sesuai dengan minat dan kapasitasnya masing-masing.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri akan membuat seseorang mengetahui potensi yang dimilikinya. Hal itu  memudahkan langkah kedua, yaitu menentukan peran yang sesuai dalam pemberantasan korupsi.
Beberapa peran yang dapat diambil misalnya peran represif, perbaikan sistem, dan kampanye. Pendekatan represif yaitu dengan membantu melaporkan kepada KPK suatu tindak pidana korupsi yang diketahui terjadi di sekitar kita. Upaya lain misalnya dengan mengawasi jalannya sidang peradilan korupsi melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.
            Peran dalam strategi perbaikan sistem, dapat dilakukan dengan cara membantu memantau pelayanan publik. Jangan sampai kita turut andil memberikan kesempatan pada para pegawai publik untuk melakukan korupsi. Seandainya kita termasuk bagian dari sistem, sudah selayaknya berperan dalam membentuk manajemen antikorupsi di lingkungan kerja tersebut.
Peran kampanye, secara luas bisa dilakukan oleh semua orang tanpa batas usia. Sesuai definisinya, tujuan kampanye adalah memberikan edukasi kepada orang lain. Berkampanyelah sesuai dengan minat dan bakat kita. Sebagai contoh, seorang penulis dapat berkampanye melalui tulisan-tulisan bertema antikorupsi. Seorang pengarang lagu dapat berkampanye melalui lagu antikorupsi ciptaannya. Seorang ibu atau ayah, dapat mengajarkan nilai-nilai integritas kepada putra putrinya sejak usia dini. Bahkan seorang pedagang kecil pun, dapat ikut berkampanye dengan memperlakukan para pelanggannya secara adil dan jujur.
Seandainya kita masih merasa sulit dan tidak mampu menggerakkan orang lain melalui sebuah karya, mulailah berusaha memberi teladan yang baik. Dengan memberi contoh sikap yang baik, secara tidak langsung kita telah berpartisipasi memberantas korupsi. Bayangkan jika setiap orang di muka bumi ini selalu menunjukkan sikap berintegritas tinggi. Betapa besar kekuatan pemberantasan korupsi yang akan terbentuk.

 Dengan membiasakan diri berbuat kebenaran, niscaya terciptanya negara Indonesia yang adil, makmur, dan bebas korupsi bukan hanya sebuah impian semu. Memberantas korupsi itu sederhana, asal ada kemauan.***

Tuesday 15 March 2016

Sistem Pendidikan yang Menumbuhkan


Judul : Sekolah yang Menyenangkan
Penulis : Anna Farida, Suhud Rois, dan Edi S. Ahmad
Penerbit : Nuansa Cendekia
Tahun  terbit : 2014

Belajar adalah tempat yang mengalir, dinamis, penuh risiko, dan menggairahkan. Belum ada kata “aku tahu” di sana. Kesalahan, keceriaan, dan ketakjuban mengisi tempat itu. (Quantum Teaching).

Jika benar proses belajar digambarkan seperti pernyataan di atas, mengapa masih ada anak yang seringkali merasa bosan bahkan menghindar ketika disodori berbagai mata pelajaran sesuai kurikulum yang telah ditetapkan? Benarkah proses pembelajaran di setiap sekolah di Indonesia telah membuat siswa-siswanya menjadi pribadi yang bertumbuh?

Buku “Sekolah yang Menyenangkan” ini mencoba menjelaskan gambaran ideal sistem pendidikan yang diyakini dapat memaksimalkan potensi dan mengembangkan karakter setiap anak. Bagaimana agar kata “belajar” tidak membuat seorang anak menjadi mengkerut lalu mundur teratur dan kemudian berlari menjauhinya. Tetapi sebaliknya, menyambut dengan suka cita, bahkan tergoda untuk menjadikan “belajar” sebagai bagian solid dari kehidupan mereka.  
Adalah salah satu tugas seorang pendidik untuk menciptakan paradigma belajar menjadi suatu definisi yang menyenangkan, bukan menyebalkan. Sekolah seharusnya merupakan lembaga yang dapat membuat para guru kreatif berkarya, membuat para siswa bertumbuh tanpa harus kehilangan jati dirinya, dan membuat  setiap orangtua tak canggung berbagi pikiran.
Beli bukunya tahun 2014, tapi baru kebaca tahun 2016 ;) #penimbunbuku

Para penulis buku mewakili tiga komponen proses pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan. Anna Farida menuangkan harapan terhadap dunia pendidikan sebagai orangtua. Edi S. Ahmad adalah pemilik konsep sekolah yang menyenangkan. Sedangkan, Suhud Rois adalah praktisi dunia pendidikan yang membagikan pengalaman mengajarnya saat menggunakan konsep sekolah yang menyenangkan.

Buku ini menjelaskan cara mengaktifkan sistem limbik pada bagian otak anak, agar proses belajar bisa berlangsung dengan semangat dan penuh daya kreatif. Harapannya, hasil belajar dapat lebih melekat dalam jangka panjang. Hal tersebut dinilai sangat penting, terutama jika melihat kondisi kurikulum di Indonesia yang dinilai cukup padat (sesuai kutipan pernyataan Kak Seto, mantan ketua Komnas Perlindungan Anak).

Kurikulum yang padat tidak dijadikan sebuah beban. Keresahan siswa dan orang tua siswa diredam guru-guru dengan cara menciptakan banyak terobosan dalam metode pembelajaran yang interaktif. Belajar dengan serius tapi santai adalah prinsip dari sekolah yang menyenangkan. Hal ini dianggap sesuai dengan pendapat Imam al-Ghazali, “ Hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus menerus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasan, dan membuatnya jemu terhadap hidup sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.” Tentu saja, konteks bermain dalam hal ini adalah aktivitas menyenangkan yang bermuatan pendidikan.
Tak hanya berisi gambaran panduan mengajar untuk guru kreatif, buku ini juga menjelaskan peran orang tua sebagai partner sekolah. Sekolah ideal yang mengedepankan hak anak, akan menciptakan kondisi yang memungkinkan orang tua terlibat aktif. Orang tua dan guru bisa saling memberi masukan mengenai metode pengajaran yang tepat, sesuai dengan kebutuhan putra-putrinya. Hasil tes psikologi di awal siswa di sekolah, tak hanya sekadar syarat pendaftaran. Bukan pula dibuat agar sekolah dapat “mengkondisikan” siswa sehingga menciptakan anak-anak berkarakter seragam, sesuai dengan standar dan keinginan sekolah. Yang dijaga bukanlah reputasi sekolah saja, melainkan benar-benar digunakan untuk lebih memahami siswanya. Hasil tes psikologi tersebut dibuat sebagai dasar untuk menentukan metode pengajaran yang tepat untuk masing-masing siswa.

Satu hal yang agak disayangkan, buku ini hanya mengambil contoh-contoh kasus dari satu sekolah dasar saja. Sehingga tidak ada bahan perbandingan. Sebaiknya pembaca diberikan gambaran lebih luas mengenai seberapa besar tingkat keberhasilan gaya pengajaran “sekolah yang menyenangkan”, dengan memberikan contoh kasus di beberapa sekolah dasar lain yang menerapkan konsep serupa. Salah satu alasan adalah agar terhindar dari anggapan bahwa buku ini hanya sekadar ajang promosi sekolah tertentu.

Terlepas dari hal itu, sepertinya konsep “sekolah yang menyenangkan” yang disajikan dalam buku ini, tetap bisa dijadikan pertimbangan untuk diterapkan di setiap sekolah di Indonesia. Hal itu karena dasar teori dan penjelasan yang disajikan cukup masuk akal dan menyentuh kebutuhan dasar seorang anak. IMHO.


Seandainya sekolah-sekolah di Indonesia seperti Tomoe Gakuen-nya Toto Chan…



Tuesday 24 November 2015

Hujan Buku


Pak Lodi dan anak-anak desa Soluna sudah ramai berkumpul di taman. Tetapi Bilbil belum juga nampak. Bilbil adalah raksasa baik hati yang tinggal di atas bukit, tak jauh dari desa. Rumah Bilbil penuh dengan koleksi buku berukuran besar. Bilbil sangat pandai membacakan dongeng. Untuk itulah, Pak Lodi sang guru sekolah, meminta Bilbil menghibur anak-anak desa.
Maka, setiap bulan di hari ke dua belas, Bilbil akan membacakan dongeng seru dari salah satu buku miliknya. Di hari lain, Bilbil akan membantu penduduk desa membajak sawah atau membangun bendungan.
Tapi agaknya kali ini anak-anak desa Soluna harus kecewa.
“Pulang saja, yuk! Mungkin Bilbil lupa atau ketiduran,” kata Benina setelah satu jam berlalu. Menunggu adalah hal yang paling tidak disukainya.
Sebagian besar anak mengikuti jejak Benina. Mereka beringsut dari tempatnya duduk dan bergerak melangkah pulang.
“Eh, jangan pulang dulu. Jangan-jangan Bilbil sedang sakit. Ayo kita tengok ke rumahnya,” cegah Pak Lodi.
Akhirnya Benina dan anak-anak lainnya setuju pergi ke atas bukit untuk menjenguk Bilbil. Tetapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, mendadak terdengar geraman menyeramkan dari atas bukit.
“Apa yang terjadi?” seru anak-anak, berdiri mematung ketakutan.
Detik berikutnya, sebuah benda besar terlihat terlempar dari atas bukit. Melayang di atas kepala anak-anak. Lalu jatuh berdebum menimpa sekelompok tanaman bunga yang ada di taman.
            Bruaak…
Buku-buku berukuran besar terus menerus terlempar keluar bagaikan hujan. Ada yang menimpa rumah, ada yang menimpa bendungan, ada pula yang mendarat di atas tanah.
Penduduk desa keluar dari rumah masing-masing. Mereka mulai berlarian dan berteriak panik. Baru kali itu ada hujan buku raksasa yang memporakporandakan desa mereka.
“Geraman itu seperti suara Bilbil. Mengapa Bilbil tega menghancurkan desa kita?” tanya Benina dengan suara gemetar. Tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan.
            Pak Lodi segera berpikir cepat.
“Dengar! Aku harus masuk ke rumah Bilbil untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tak biasanya Bilbil bersikap demikian. Pasti ada sesuatu,”  kata Pak Lodi.
“Jangan, Pak!” seru Benina dan anak-anak yang lain. Mereka tak mau guru mereka itu terluka.
“Jangan mengkhawatirkan aku. Sebaiknya kalian bantu ayah dan ibu kalian, serta penduduk desa yang lain.”
Akhirnya Benina dan anak-anak lain mengangguk setuju.
Pak Lodi pun segera berlari ke atas bukit sambil setengah merunduk. Tetapi tak lama,  buku-buku berhenti terlempar. Suara geraman berganti menjadi erangan. Pak Lodi lalu masuk ke dalam rumah Bilbil, melalui celah kecil di bawah pintu.
Di dalam rumah raksasa itu, Pak Lodi menemukan Bilbil sedang terduduk bersandar pada rak yang biasanya terisi penuh dengan buku. Bilbil mengerang lemah sambil memegangi sebuah kacamata yang pecah.
“Bilbil…,” teriak Pak Lodi memberanikan diri.
“Siapa itu?” suara Bilbil terdengar serak. Kepalanya celingukan. Matanya menyipit mencari asal suara.
“Ini aku. Lodi,” seru Pak Lodi.
Tetapi Bilbil tampaknya tak dapat melihat dengan jelas. Tangannya meraba-raba lantai. Pak Lodi berjalan mendekat dan menyentuh tangan Bilbil. Lalu membiarkan dirinya diangkat sampai di dekat mata raksasa itu. Dengan jarak sedekat itu, tampaknya Bilbil bisa mengenali sosok Pak Lodi walau masih kabur.
“Mengapa kau tidak datang ke taman hari ini? Mengapa pula kau melempar semua bukumu? Desa kami jadi rusak karena tertimpa buku-buku berat itu,” tanya Pak Lodi.
“Oh. Benarkah?” Bilbil tampak sangat terkejut. Matanya membelalak tak percaya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Bilbil?” Pak Lodi kembali bertanya.
“Kacamataku tak sengaja terinjak. Tanpa kacamata itu, pandanganku jadi kabur. Aku tak dapat menemukan buku yang kucari. Padahal kalian pasti menunggu kelanjutan dongeng si Putri Salju, kan? Lama-lama aku kesal. Sayang, mungkin aku terlalu kuat melempar buku-buku itu. Tak kusangka, buku-buku itu melayang ke luar jendela dan jatuh menimpa desamu. Maafkan aku,” jelas Bilbil penuh penyesalan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Sebaiknya kau minta maaf pada seluruh penduduk desa Soluna. Mereka sudah dibuat ketakutan olehmu. Kau juga harus membantu mereka memperbaiki semua kerusakan yang diakibatkan olehmu. Sebagai gantinya, aku akan membantumu memperbaiki kacamata yang pecah dan menemukan buku yang kau cari. Anak-anak sudah tak sabar ingin mendengarmu mendongeng.”
“Baiklah. Aku benar-benar menyesal. Aku akan segera membereskan semua kerusakan yang telah kuperbuat. Mudah-mudahan penduduk desa memaafkanku,” kata Bilbil.
“Pasti mereka akan memaafkanmu. Kau kan tidak melakukannya dengan sengaja. Lain kali kalau kesal jangan sambil melempar barang ya,” kata Pak Lodi memberi nasihat.

Bilbil mengangguk. Pipinya memerah karena malu.***

*)Tulisan ini telah dimuat di Majalah Bobo edisi 30, 29 Oktober 2015

Wednesday 9 September 2015

Katalog Buku Laksmi P. Manohara


Menulis itu sangat menyenangkan. Apalagi kalau punya kesempatan untuk diterbitkan menjadi buku. Saat ini saya berusaha fokus untuk menulis buku cerita anak-anak. Menulis cerita anak itu punya tantangannya sendiri loh. Dibilang gampang engga, dibilang susah banget juga engga. Intinya sih mau terus belajar dan belajar untuk meningkatkan kemampuan diri. Di bawah ini, daftar buku saya yang telah diterbitkan oleh beberapa penerbit di Indonesia. Semoga daftarnya terus bertambah dengan kualitas yang terus meningkat. Aamiin.

Judul       : Hwaiting, Hye Mi!
Penulis    : Laksmi P. Manohara
Penerbit  : Dar! Mizan 
Harga     : Rp. 35.000,00
Tahun terbit : 2015
Sinopsis  : Hye Mi, gadis korea berusia 10 tahun, sangat pintar menari hip hop. Berbagai kejuaraan telah diraihnya. Tuan Jun Ki, kepala sekolahnya, sangat bangga sehingga meminta Hye Mi menari di acara kementerian negara Korea.Sayangnya, semua tidak seperti yang Hye Mi bayangkan. Ia diminta untuk menarikan tarian tradisional Korea, bukannya tarian modern hip hop! Hye Mi terpaksa harus berjuang keras berlatih menarikan tarian yang tidak disukainya. Niatnya untuk membangkang dengan cara bermalas-malasan dalam berlatih, membuatnya harus mengalami berbagai kejadian yang tidak menyenangkan. Dihukum oleh nona Kim, dimusuhi oleh teman-teman di sanggar tari, dan dijauhi sahabatnya, Ji Hyo. Untung nenek yang tinggal di pulau Jeju, datang berkunjung ke rumah Hye Mi. Nenek membantu Hye Mi perlahan-lahan keluar dari semua kesulitan yang dihadapinya.

Review dapat dibaca di ketimbun buku, Peni Astiti
Rating goodreads


Buku seri Cerita dari negeri Paranada. Terdiri dari 5 judul buku yaitu Tarian Cis Cis, Roda-roda Pak Redo, Kisah Alto dan Opus, Boneka-boneka Gita, dan Tekad Quinta.
Penulis      : Laksmi P. Manohara
Penerbit    : Talikata Publishing
Harga       : Rp. 25.000,00
Tahun terbit : 2012
Sinopsis   : Cerita-cerita dalam buku mengisahkan para kucica yang tinggal di Negeri Paranada. Negeri ini penuh musik! Nama-nama kucica, nama pohon dan hewan, bahkan jalanan dan rambu-rambu lalu lintas di seluruh negeri, semua berhubungan dengan istilah musik. Membaca kisah para kucica bisa sekaligus menambah pengetahuan musik kita. Setiap buku, memuat 2 kisah seru, 2 buah lagu anak-anak, teori musik, istilah-istilah musik, dan pengetahuan tentang alat musik Indonesia dan dunia.
sneak peek buku 'Tarian Cis Cis'
Teori musik

sneak peek "Roda-roda Pak Redo"

Review dapat dibaca di Superkids Indonesia
Lagu anak-anak yang ada dalam buku ini dapat didengarkan dan di-download  di soundcloud

Thursday 27 August 2015

Kuil Sri Srinivasa Perumal

Foto : amikujira

Berdasarkan hasil sensus kependudukan tahun 2000, sebanyak 55,4 % populasi orang India di Singapura adalah pemeluk agama Hindu. Tak heran jika cukup banyak kuil Hindu yang dapat ditemukan di Singapura. Diketahui sebanyak 35 kuil Hindu tersebar di Singapura. Mayoritas dibangun di kawasan Little India. Diantaranya adalah kuil Sri Mariamman dan Sri Srinivasa Perumal yang terletak di area Serangoon Road.
            Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu kuil yang letaknya paling dekat dengan hotel yang saya tempati sewaktu berwisata ke Singapura. Kuil itu adalah Sri Srinivasa Perumal. Dari hotel, saya hanya perlu berjalan kaki selama 5 menit.
Pintu gerbang kuil Sri Srinivasa Perumal terlihat terbuka lebar. Sejumlah pria dan wanita India tampak bergantian memasuki bangunan kuil setelah sebelumnya mencuci kaki dan meninggalkan alas kakinya di tempat yang telah disediakan. Meskipun kuil ini milik komunitas pemeluk agama Hindu, warga non Hindu pun diijinkan untuk mengunjunginya. Begitu pula seorang turis seperti saya. Seorang penjaga kuil dengan ramah mempersilakan saya dan keluarga untuk masuk ke dalam kuil dan mengamatinya dari dekat.  Tentu saja saya pun harus melepas alas kaki sebelum memasukinya.
Pintu masuk kuil. Foto :amikjira
Cuci kaki sebelum masuk ke dalam kuil. Foto : amikujira

Bangunan kuil ini diketahui mulai dibangun sekitar tahun 1885 di atas lahan seluas kurang lebih 2 are atau 200 m2. Pembangunan kuil diprakarsai oleh sekelompok anggota komunitas “The East Indian Community” yang cukup berpengaruh di Singapura pada saat itu. Diantaranya Arunachala Pillay, Cootaperumal Pillay, Ramasamy Pillay, Appasamy Pillay, Chockalingam Pillay dan Ramasamy Jamidar. Pada waktu itu, kuil ini diberi nama Narasinga Perumal Kovil.
Bangunan kuil ini kemudian mengalami renovasi dan modifikasi di berbagai area. Salah satunya adalah pembangunan gapura bermenara yang penuh dengan relief berbagai bentuk reinkarnasi Dewa Wishnu. Tinggi menara tersebut mencapai 20 meter, sehingga sering disebut Rajagopuram atau Menara yang besar dan tinggi. Menara tersebut dibangun atas biaya Govindasamy Pillay, juga seorang anggota komunitas “The East Indian Community”. Begitu pula halnya dengan pembangunan aula khusus acara pernikahan yang berada di dalam kuil. Pembangunan aula tersebut sempat diresmikan oleh Yusof bin Ishak, presiden pertama Singapura, pada tahun 1965. Tahun 1966, nama kuil diganti menjadi Sri Srinivasa Perumal. Perumal adalah nama lain dari Dewa Wishnu, sang dewa pelindung. Baru pada tahun 1978 kuil ini diresmikan sebagai  salah satu Monumen Nasional di Singapura.
Bagian dalam kuil terdiri dari langit-langit yang dipenuhi gambar berpola sirkular dan penuh warna. Gambar itu melukiskan 9 planet yang ada di alam semesta. Di sana juga terdapat ruang-ruang paviliun yang dijaga oleh beberapa penjaga kuil berbusana Dhoti. Dhoti adalah pakaian khas yang biasa digunakan pria India. Pakaian ini terdiri dari lembaran kain putih atau kuning yang panjang. Kain itu dililitkan di bagian pinggang, diikat pada celah paha, kemudian disangkutkan di bahu.
Langit-langit bergambar pola sirkular. Foto: amikujira

Penjaga pintu salah satu ruang paviliun berpakaian dhoti. Foto : amikujira

Masing –masing ruangan tersebut merupakan tempat pemujaan pada dewa dan dewi Hindu yang berbeda-beda. Kuil ini didedikasikan untuk pemujaan terhadap Krishna, salah satu bentuk reinkarnasi Dewa Wishnu, Oleh karena itu semua ruangan dan patung-patungnya  berhubungan dengan kehidupan dewa Wishnu. Mulai dari patung burung garuda yang merupakan kendaraan dewa Wishnu, sampai ruang pemujaan sang dewi kesejahteraan dan kecantikan, Sri Mahalakshmi. Dewi Lakshmi adalah salah satu istri dewa Wishnu.
Di setiap ruangan, penjaga-penjaga kuil akan membantu jemaat untuk melakukan ritual ibadah mereka. Sambil membawa gantha (lonceng kecil), mereka melakukan gerakan tubuh anjali, atau menangkupkan kedua tangan di dada untuk memberi hormat pada sesama. Lalu dilanjutkan dengan meletakkan kedua tangan di atas kepala untuk memberi hormat pada dewa dan dewi.    
Ritual ibadah. Foto : amikujira

Detail Rajagopuram. Foto : amikujira

   Beberapa festival keagamaan sering dilakukan di Kuil Sri Srinivasa Perumal. Kuil ini diketahui merupakan titik awal dari pelaksanaan perayaan keagamaan, Festival Thaipusam. Festival tahunan ini biasanya diselenggarakan pada pertengahan Januari, saat bulan purnama. Perayaan akan dimulai sekitar pukul 9.30 pagi di kuil Sri Srinivasa Perumal, diikuti oleh banyak partisipan pria dan wanita beragama Hindu yang ingin melakukan penebusan dosa dan mengharap berkah dari Dewa Murugan. Mereka akan melakukan perjalanan panjang melalui Orchard Road dan Penang Road sambil membawa cawan berisi susu serta membawa Kavadis. Kavadis adalah potongan kayu atau baja berbentuk semi sirkular yang dikaitkan bahkan menembus kulit beberapa partisipan pria. Perayaan selanjutnya akan berakhir di kuil Sri Thandayuthapani di Tank Road sekitar pukul 11 malam.

Hal yang cukup saya sesali adalah Festival Thaipusam 2013 di Singapura dilaksanakan tanggal 27 Januari. Sedangkan perjalanan wisata yang saya lakukan berakhir di tanggal 24 Januari. Jadi, saya tidak dapat menyaksikan kemeriahan itu dengan mata kepala saya sendiri. Tampaknya lain kali saya harus lebih cermat memilih waktu berwisata.***

*)Tulisan ini telah dimuat di harian umum Pikirian Rakyat tahun 2013, dengan melalui proses editing.