Konser
Krakatoa
Setelah
duduk manis di kursi yang saya pilih, sebuah kejutan datang dari arah belakang
ruangan. Suara koor beberapa alat musik tiup seperti flute, clarinet, dan
french horn, menyapa para penonton. Otomatis kami menengok ke belakang,
menikmati alunan musik yang berlangsung singkat. Sebuah pembuka pertunjukkan
yang cantik.
Kemudian,
para pemain musik naik ke atas panggung, dipimpin oleh sang Maestro pengaba,
Robert Nordling. Para penonton kembali mendapat kejutan. Kami diminta berdiri.
Lalu, orkestra memainkan lagu Indonesia Raya. Suasana langsung berubah khidmat.
Tiba-tiba saya merasa haru dan tak kuasa meneteskan air mata penuh kebanggaan.
Tanpa dikomando, para penonton bersama-sama ikut menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia itu.
Orkestra
menampilkan lima lagu dari berbagai komponis Indonesia dan dunia. Lagu Krakatoa
sendiri, baru dimainkan setelah sesi intermission.
Lagu
pertama yang dimainkan adalah Suite Peer Gynt no. 1 Op. 46 karya komponis
Edvard Grieg (1843 – 1907). Lagu ini terdiri dari 4 bagian, yaitu Morning Mood,
The Death of Ase, Anitra’s Dance, dan In the Hall of the Mountain King.
Komposisi ini dibuat untuk melengkapi musik pengiring sebuah pertunjukkan drama
dengan judul sama, yang ditulis seorang penulis Norwegia bernama Henrik Ibsen.
Lagu
kedua berjudul Malam di Gunung Bald karya komponis Modest Mussorgsky
(1839–1881), yang diaransemen lanjut oleh Nikolai Rimsky-Korsakov (1844-1908).
Komposisi ini terinspirasi oleh legenda Rusia. Sayangnya, Mussorgsky meninggal
dunia tanpa sempat merampungkan karyanya ini. Rimsky-Korsakov lah yang akhirnya
menggubah karya Mussorgsky menjadi sebuah nomor musik yang dibuat untuk
menimbulkan perasaan takut dan mencekam bagi para pendengarnya.
Lagu
ketiga adalah Aki Manggul Awi, sebuah tembang Sunda klasik gubahan Tan De Seng,
seorang musisi Sunda beretnis Cina. Lagu ini diaransemen oleh Fauzie
Wiriadisastra menjadi sebuah ansambel tiup. Karya ini menceritakan seorang
kakek yang bekerja keras menghidupi keluarganya. Di beberapa daerah di Indonesia,
pria-pria berumur 70-an tahun, seringkali melewati jalur berbahaya sambil
memanggul beban berat di punggung mereka yang ringkih.
Krakatoa
karya Stacy Garrop baru ditampilkan setelah sesi intermission. Komposisi ini
dibuat dengan menonjolkan permainan solo biola. Michael Hall adalah seorang
violis (pemain biola) yang ditunjuk untuk membuat lagu ini terdengar lebih
meyayat hati. Para pemusik Bandung Phillharmonic berhasil mengimbangi permainan
biola Michael Hall. Sebagai penonton, saya terbawa suasana mencekam, seolah-olah
hidup pada zaman di mana gunung Krakatau meletus. Instrumen gesek dan perkusi
mengikuti pola ledakan Krakatau yaitu Imminet, Eruption, dan Dormant. Permainan
Orkestra Bandung Phillharmonic mampu membuat jantung berdebar keras, untuk kemudian
kembali tenang. Seiring dengan penggambaran gunung krakatau yang mulai
dorman/tertidur di bawah laut dan bersiap menciptakan gunung baru, Anak
Krakatau.
Lagu
berikutnya adalah Sungai Moldau karya Bedrich Smetana (1824-1884). Komposisi ini
menggambarkan kecintaan Bedrich pada tanah airnya, Cekoslowakia. Karya ini
membawa kita menyusuri Sungai Moldau, sungai terpanjang di Ceko. Para penonton
seakan-akan ikut merasakan gemerlap air sungai, melihat aktivitas penduduk di
desa di tepi sungai, memandang kastil megah dan derap kuda-kuda yang berlarian.
Sebenarnya
Sungai Moldau adalah karya terakhir dalam rangkaian lagu wajib yang tercantum
dalam buku panduan. Tetapi, seperti pada umumnya sebuah konser musik, biasanya
para pemusik menampilkan karya tambahan sebagai bonus.
Kali
ini, lagu Bengawan Solo mengalun di Ballroom Hotel Hilton. Tampil menggantikan
Robert Nordling, seorang pengaba muda bernama Wishnu Dewanta, memimpin orkestra
dengan mulus. Satu kejutan tambahan untuk saya pribadi, ternyata penonton yang
duduk di sebelah kanan saya adalah kakak dari pengaba muda itu. Sebuah
kebetulan yang menyenangkan!
Pertunjukkan
musik klasik berakhir pukul 21.30. para penonton satu per satu keluar ruangan
dengan tertib. Semoga suatu saat nanti, saya punya kesempatan untuk kembali
menyaksikan orkestra lagi.***